MENATAP
DUNIA
Karya:
Fathimah Fauziah
Hari
ini, sang mentari menyapa dunia dengan memamerkan sinarnya. Menyelinap
disela-sela lubang atap rumah warga Bandung. Jendela kamar rumah Wawan kini
telah terbuka, dengan sekejab kamar itu terpenuhi oleh silauan sang mentari.
Wawan menggeliat mencari selimut untuk menyembunyikan dirinya dari silau
mentari.
“Wan bangun. Sudah pagi atuh, kamu kan sekolah” kata abahnya sambil mengusap-usap lembut rambut
Wawan.
“Iya, Bah”
Wawan adalah anak seorang buruh petani teh milik
juragan Karto, orang paling kaya di desa Ciawi. Wawan tinggal bersama abahnya,
Abah Burhan dan neneknya Emak Asih. Ibunya meninggal sewaktu Wawan duduk di
bangku SD kelas 3 akibat kecelakaan kereta. Kini Wawan telah duduk di bangku
SMP kelas 1. Abahnya sakit radang paru-paru, air mata Wawan membasahi kelopak
mata ketika melihat abahnya batuk-batuk sampai terkadang mengeluarkan darah. Ia
ingin sekali mengobatkan abahnya, tapi tersendat oleh perekonomian keluarganya.
“Wan, belum berangkat kenapa atuh?”
“Abah?” kata Wawan mendekati ayahnya yang sedang
menyiapkan sarapan.
“Ya”
“Wawan mau saat Wawan dewasa bisa jadi pengusaha
terkenal. Pengusaha yang punya banyak uang. Biar nanti uangnya buat bantu
pengobatan abah sampai sembuh”
Abah hanya tersenyum mendengar kata-kata Wawan.
“Ya sudah, Wawan berangkat dulu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Eh Wan, tidak sarapan dulu?”
“Wawan buru-buru, Bah. Wawan akan mulai menyentuh
langit dan suatu saat nanti Wawan bakal buat bangga Abah. Wawan janji sama
Abah!” seru Wawan.
Abah hanya menuntun kepergian anaknya kesekolah
dengan senyum bangga.
“Ada apa, Han? Wawan sudah berangkat? Pagi-pagi
sekali, bahkan sarapannya belum tersentuh” Emak Asih datang dari balik pintu
kamarnya.
Wawan
melewati jalanan perkebunan teh. Ia pagi ini bersemangat sekali berangkat ke
sekolah. Ia sudah berjanji akan menjadi seorang pengusaha dan ia janji akan
mengobati ayahnya sampai sembuh.
Jam 06.00, Wawan tiba di sekolah. Hanya segelintir
orang saja yang sudah sampai di sekolah lebih dulu. Hanya seorang satpam, pak
kebun sekolah dan beberapa teman yang hari ini giliran piket. Hari ini, Wawan
telah berjanji ke abahnya dan ia akan menepati janji itu. Jadi mulai sekarang
(pagi ini), Wawan akan menggapai impian itu menjadi kenyataan.
10
tahun kemudian...
Wawan
telah berumur 22 tahun, seharusnya ia kini duduk dibangku universitas. Namun,
sayang Tuhan belum menghendaki hal itu terjadi. Abahnya telah amat renta untuk
bekerja. Ia tak tega melihat abahnya harus masih bekerja. Mau tidak mau, Wawan
harus bekerja keras untuk abah dan emak. Ia bekerja serabutan, namun jika
sedang sepi Wawan meluangkan waktu untuk membuat kerajinan dari kayu. Lalu
Wawan menjualnya ke pinggiran jalan raya. Lumayan untuk menambah penghasilan.
“Uhuk !! Uhuk
!! Uhuk !!”, terdengar suara batuk di kamar abah. Wawan langsung lari ke
kamar abah.
“Bah? Kunaon?
“Tak Wan, Abah mu tak kenapa-kenapa. Kamu sepi hari
ini?”
“Hari ini Wawan alhamdulillah ada kerjaan di
pabriknya juragan Karto. Bah, Wawan tak tega meninggalkan Abah dalam keadaan
tak sehat seperti ini. Maaf, Bah Wawan belum punya uang cukup untuk bawa Abah
ke puskesmas.”
“Abah baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir. Ya
sudah, berangkat cepat. Juragan Karto itu orangnya disiplin, kalau telat pasti
kamu bakal dihukum, Nak”
“Iya, Bah. Wawan pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Wawan
bekerja sangat baik. Ia cekatan, ulet, dan jarang mengeluh. Suatu saat, Wawan
merantau ke Padang. Ia terpaksa meninggalkan Abah dan Emak Asih di rumah saudara.
Untung masih ada Uak Keke.
Sebulan sekali Wawan pulang, tapi suatu hari Wawan
kena nasib jelek. Uang yang selama ini ia dapat dari hasil jerih payahnya ikut
terbakar karena kontrakan yang Wawan diami kebakaran. Untuk pertama kalinya
Wawan tak pulang ke kampung halamannya.
“Ya Allah !! Aku tak punya uang sepeserpun.
Bagaimana aku bisa bertahan hidup di kampung orang?!!”, keluh Wawan. Ia putus
asa karena ia bingung harus bagaimana lagi, uang pun tak ada.
Kurang
lebih seminggu Wawan harus tidur di teras-teras toko dan makan minum seadanya.
Pernah saking laparnya, ia memakan bekas makanan orang lain yang dibuang. Suatu
hari Wawan sadar, ia tak boleh terus begini. Sampai kapan ia akan begini. Wawan
ingat Abah di rumah sedang menunggu kabar kesuksesannya. Wawan baru ingat bahwa
ia punya keterampilan mengolah kayu menjadi barang seni yang laku dijual.
Tak perlu berfikir lama, ia mencari kayu-kayu dan
benda tajam sebagai alat pemahatnya. Ia menciptakan beberapa karya seni, lalu
ia coba tawarkan ke toko-toko dan pejalan kaki. Untuk sehari ini lumayan, 2
dari 10 barang yang ia buat terjual. Hari-hari berikutnya ia perbanyak dan
lebih berkreasi lagi dengan berbagai bentuk menarik.
“Alhamdulillah, barang daganganku laku. Besok saya
harus lebih giat lagi. Sepertinya orang-orang disini suka dengan hasil
pahatanku.” Begitulah ekspresi Wawan saat barang dagangannya laku semua.
Suatu
hari, ada seseorang yang membeli dagangan Wawan. Ia seperti pengusaha, tapi
mana mungkin seorang pengusaha mau membeli barang dagangannya yang mungkin tak
seberapa ini.
“Nak, ini berapa?”, kata pengusaha itu.
“Itu hanya Rp 15.000, Pak”
“Hanya Rp 15.000 untuk barang bagus seperti ini?”
“Haha, itu hanya sebuah pahatan kecil Pak. Tidak
pantas untuk dihargai tinggi. Saya hanya menyalurkan hobi saya”
“Kamu sangat kreatif. Ngomong-ngomong kamu bukan
orang Padang asli?”
“Bukan, Pak. Saya orang Bandung. Bapak mau beli yang
mana? Silahkan dipilih?”
“Oh, saya tidak mau beli”
“Kenapa, Pak? Bapak tidak suka. Bapak bisa pesan ke
saya, nanti saya buatkan pesanan Bapak”
“Oh tidak-tidak. Saya tidak mau beli, tapi saya mau
menawarkan sesuatu ke kamu. Kamu orang kreatif dan kebetulan saya sedang
mencari orang kreatif seperti kamu untuk bekerja di perusahaan saya”
“Apa !! Bekerja di perusahaan Bapak?”
“Iya, perusahaan saya bekerja di bidang ukir. Nanti
saya akan tempatkan kamu di bagain desain ukir”
“Alhamdulillah, terima kasih Pak. Terima kasih !”
“Iya, besok kamu datang ke alamat ini ya. Selamat
siang”, Bapak itu memberikan kertas yang bertuliskan nama perusahaannya dan
alamatnya.
Keesokan
harinya, Wawan berangkat pagi-pagi menuju ke perusahaan Bapak yang kemarin
memberi ia pekerjaan. Wawan sangat bahagia, akhirnya ia dapat bekerja kembali.
“PT UKIR INDAH. Apakah ini perusahaannya? Perusahaan
plus pabrik. Wah, kaya sekali Bapak
itu”, kata Wawan saat berada di depan perusahaan milik Bapak itu.
Saat bekerja disana, Wawan sangat rajin. Seminggu
disana, Wawan menjadi andalan Pak Priyoto (Bapak yang telah menawarkan
pekerjaan kepadanya sekaligus pemilik perusahaan PT UKIR INDAH).
Wawan menelepon rumah, “Assalamu’alaikum, Uak. Abah mana?”
“Wa’alaikumsalam, Wan. Ya Allah, kemana saja kamu
Wan? Sebentar Uak panggil dulu Abah
kamu.”
“Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam, Abah? Wawan minta maaf lama tak
memberi kabar. Wawan sekarang hidup enak, Bah alhamdulillah. Wawan janji dalam
sebulan ini Wawan akan pulang, Bah”
“Iya, Nak. Apapun keputusan kamu, Abah setuju. Abah
akan nunggu kamu. Cepat pulang, Emak sudah menanyakan kabar kamu terus menerus”
“Iya, Bah. Sudah dulu ya Wawan harus bekerja lagi.
Salam buat sekeluarga. Assalamu’alaikum”
Wawan
terus bekerja dengan gigih. Bahkan ia sering lembur untuk mendapatkan uang
ekstra. Walaupun sakit, Wawan terus bekerja. Ia teringat janjinya sewaktu
kecil, bahwa ia akan menjadi orang yang sukses. Dan setelah 3 tahun bekerja di
Padang, Wawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Abah yang sudah
tua dan Emak yang semakin tua harus ia rawat. Wawan rasa sudah cukup untuk
mencari uang di kampung halaman orang. Ia ingin berwirausaha di Bandung.
Wawan telah menjadi pengusaha ukir yang sukses, kini
ia memiliki sebuah pabrik kecil-kecilan di Bandung. Ia berhasil meraih
impiannya. Kini ia siap menjadi seseorang yang berdiri paling depan untuk
menatap dunia. Tak kan kenal takut, tak kan kenal mundur. Apapun yang terjadi
bulatkan tekad dan bertindaklah !
SELESAI..