Sabtu, 20 September 2014

Cerpen Kewirausahaan

MENATAP DUNIA
Karya: Fathimah Fauziah

            Hari ini, sang mentari menyapa dunia dengan memamerkan sinarnya. Menyelinap disela-sela lubang atap rumah warga Bandung. Jendela kamar rumah Wawan kini telah terbuka, dengan sekejab kamar itu terpenuhi oleh silauan sang mentari. Wawan menggeliat mencari selimut untuk menyembunyikan dirinya dari silau mentari.
“Wan bangun. Sudah pagi atuh, kamu kan sekolah” kata abahnya sambil mengusap-usap lembut rambut Wawan.
“Iya, Bah”
Wawan adalah anak seorang buruh petani teh milik juragan Karto, orang paling kaya di desa Ciawi. Wawan tinggal bersama abahnya, Abah Burhan dan neneknya Emak Asih. Ibunya meninggal sewaktu Wawan duduk di bangku SD kelas 3 akibat kecelakaan kereta. Kini Wawan telah duduk di bangku SMP kelas 1. Abahnya sakit radang paru-paru, air mata Wawan membasahi kelopak mata ketika melihat abahnya batuk-batuk sampai terkadang mengeluarkan darah. Ia ingin sekali mengobatkan abahnya, tapi tersendat oleh perekonomian keluarganya.


“Wan, belum berangkat kenapa atuh?”
“Abah?” kata Wawan mendekati ayahnya yang sedang menyiapkan sarapan.
“Ya”
“Wawan mau saat Wawan dewasa bisa jadi pengusaha terkenal. Pengusaha yang punya banyak uang. Biar nanti uangnya buat bantu pengobatan abah sampai sembuh”
Abah hanya tersenyum mendengar kata-kata Wawan.
“Ya sudah, Wawan berangkat dulu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Eh Wan, tidak sarapan dulu?”
“Wawan buru-buru, Bah. Wawan akan mulai menyentuh langit dan suatu saat nanti Wawan bakal buat bangga Abah. Wawan janji sama Abah!” seru Wawan.
Abah hanya menuntun kepergian anaknya kesekolah dengan senyum bangga.
“Ada apa, Han? Wawan sudah berangkat? Pagi-pagi sekali, bahkan sarapannya belum tersentuh” Emak Asih datang dari balik pintu kamarnya.


            Wawan melewati jalanan perkebunan teh. Ia pagi ini bersemangat sekali berangkat ke sekolah. Ia sudah berjanji akan menjadi seorang pengusaha dan ia janji akan mengobati ayahnya sampai sembuh.
Jam 06.00, Wawan tiba di sekolah. Hanya segelintir orang saja yang sudah sampai di sekolah lebih dulu. Hanya seorang satpam, pak kebun sekolah dan beberapa teman yang hari ini giliran piket. Hari ini, Wawan telah berjanji ke abahnya dan ia akan menepati janji itu. Jadi mulai sekarang (pagi ini), Wawan akan menggapai impian itu menjadi kenyataan.

10 tahun kemudian...
            Wawan telah berumur 22 tahun, seharusnya ia kini duduk dibangku universitas. Namun, sayang Tuhan belum menghendaki hal itu terjadi. Abahnya telah amat renta untuk bekerja. Ia tak tega melihat abahnya harus masih bekerja. Mau tidak mau, Wawan harus bekerja keras untuk abah dan emak. Ia bekerja serabutan, namun jika sedang sepi Wawan meluangkan waktu untuk membuat kerajinan dari kayu. Lalu Wawan menjualnya ke pinggiran jalan raya. Lumayan untuk menambah penghasilan.

Uhuk !! Uhuk !! Uhuk !!”, terdengar suara batuk di kamar abah. Wawan langsung lari ke kamar abah.
“Bah? Kunaon?
“Tak Wan, Abah mu tak kenapa-kenapa. Kamu sepi hari ini?”
“Hari ini Wawan alhamdulillah ada kerjaan di pabriknya juragan Karto. Bah, Wawan tak tega meninggalkan Abah dalam keadaan tak sehat seperti ini. Maaf, Bah Wawan belum punya uang cukup untuk bawa Abah ke puskesmas.”
“Abah baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir. Ya sudah, berangkat cepat. Juragan Karto itu orangnya disiplin, kalau telat pasti kamu bakal dihukum, Nak”
“Iya, Bah. Wawan pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

            Wawan bekerja sangat baik. Ia cekatan, ulet, dan jarang mengeluh. Suatu saat, Wawan merantau ke Padang. Ia terpaksa meninggalkan Abah dan Emak Asih di rumah saudara. Untung masih ada Uak Keke.
Sebulan sekali Wawan pulang, tapi suatu hari Wawan kena nasib jelek. Uang yang selama ini ia dapat dari hasil jerih payahnya ikut terbakar karena kontrakan yang Wawan diami kebakaran. Untuk pertama kalinya Wawan tak pulang ke kampung halamannya.
“Ya Allah !! Aku tak punya uang sepeserpun. Bagaimana aku bisa bertahan hidup di kampung orang?!!”, keluh Wawan. Ia putus asa karena ia bingung harus bagaimana lagi, uang pun tak ada.

            Kurang lebih seminggu Wawan harus tidur di teras-teras toko dan makan minum seadanya. Pernah saking laparnya, ia memakan bekas makanan orang lain yang dibuang. Suatu hari Wawan sadar, ia tak boleh terus begini. Sampai kapan ia akan begini. Wawan ingat Abah di rumah sedang menunggu kabar kesuksesannya. Wawan baru ingat bahwa ia punya keterampilan mengolah kayu menjadi barang seni yang laku dijual.
Tak perlu berfikir lama, ia mencari kayu-kayu dan benda tajam sebagai alat pemahatnya. Ia menciptakan beberapa karya seni, lalu ia coba tawarkan ke toko-toko dan pejalan kaki. Untuk sehari ini lumayan, 2 dari 10 barang yang ia buat terjual. Hari-hari berikutnya ia perbanyak dan lebih berkreasi lagi dengan berbagai bentuk menarik.
“Alhamdulillah, barang daganganku laku. Besok saya harus lebih giat lagi. Sepertinya orang-orang disini suka dengan hasil pahatanku.” Begitulah ekspresi Wawan saat barang dagangannya laku semua.

            Suatu hari, ada seseorang yang membeli dagangan Wawan. Ia seperti pengusaha, tapi mana mungkin seorang pengusaha mau membeli barang dagangannya yang mungkin tak seberapa ini.
“Nak, ini berapa?”, kata pengusaha itu.
“Itu hanya Rp 15.000, Pak”
“Hanya Rp 15.000 untuk barang bagus seperti ini?”
“Haha, itu hanya sebuah pahatan kecil Pak. Tidak pantas untuk dihargai tinggi. Saya hanya menyalurkan hobi saya”
“Kamu sangat kreatif. Ngomong-ngomong kamu bukan orang Padang asli?”
“Bukan, Pak. Saya orang Bandung. Bapak mau beli yang mana? Silahkan dipilih?”
“Oh, saya tidak mau beli”
“Kenapa, Pak? Bapak tidak suka. Bapak bisa pesan ke saya, nanti saya buatkan pesanan Bapak”
“Oh tidak-tidak. Saya tidak mau beli, tapi saya mau menawarkan sesuatu ke kamu. Kamu orang kreatif dan kebetulan saya sedang mencari orang kreatif seperti kamu untuk bekerja di perusahaan saya”
“Apa !! Bekerja di perusahaan Bapak?”
“Iya, perusahaan saya bekerja di bidang ukir. Nanti saya akan tempatkan kamu di bagain desain ukir”
“Alhamdulillah, terima kasih Pak. Terima kasih !”
“Iya, besok kamu datang ke alamat ini ya. Selamat siang”, Bapak itu memberikan kertas yang bertuliskan nama perusahaannya dan alamatnya.

            Keesokan harinya, Wawan berangkat pagi-pagi menuju ke perusahaan Bapak yang kemarin memberi ia pekerjaan. Wawan sangat bahagia, akhirnya ia dapat bekerja kembali.
“PT UKIR INDAH. Apakah ini perusahaannya? Perusahaan plus pabrik. Wah, kaya sekali Bapak itu”, kata Wawan saat berada di depan perusahaan milik Bapak itu.
Saat bekerja disana, Wawan sangat rajin. Seminggu disana, Wawan menjadi andalan Pak Priyoto (Bapak yang telah menawarkan pekerjaan kepadanya sekaligus pemilik perusahaan PT UKIR INDAH).
Wawan menelepon rumah, “Assalamu’alaikum, Uak. Abah mana?”
“Wa’alaikumsalam, Wan. Ya Allah, kemana saja kamu Wan? Sebentar Uak panggil dulu Abah kamu.”

“Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam, Abah? Wawan minta maaf lama tak memberi kabar. Wawan sekarang hidup enak, Bah alhamdulillah. Wawan janji dalam sebulan ini Wawan akan pulang, Bah”
“Iya, Nak. Apapun keputusan kamu, Abah setuju. Abah akan nunggu kamu. Cepat pulang, Emak sudah menanyakan kabar kamu terus menerus”
“Iya, Bah. Sudah dulu ya Wawan harus bekerja lagi. Salam buat sekeluarga. Assalamu’alaikum”

            Wawan terus bekerja dengan gigih. Bahkan ia sering lembur untuk mendapatkan uang ekstra. Walaupun sakit, Wawan terus bekerja. Ia teringat janjinya sewaktu kecil, bahwa ia akan menjadi orang yang sukses. Dan setelah 3 tahun bekerja di Padang, Wawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Abah yang sudah tua dan Emak yang semakin tua harus ia rawat. Wawan rasa sudah cukup untuk mencari uang di kampung halaman orang. Ia ingin berwirausaha di Bandung.
Wawan telah menjadi pengusaha ukir yang sukses, kini ia memiliki sebuah pabrik kecil-kecilan di Bandung. Ia berhasil meraih impiannya. Kini ia siap menjadi seseorang yang berdiri paling depan untuk menatap dunia. Tak kan kenal takut, tak kan kenal mundur. Apapun yang terjadi bulatkan tekad dan bertindaklah !



SELESAI..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar